Peneliti hukum dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menilai gagasan membebani koruptor dengan biaya sosial bisa menjadi tidak efektif apabila vonis nilai biayanya tak sesuai kemampuan terpidana.
"Soal apakah bisa dijadikan pidana, sebetulnya bisa dimasukkan ke hukuman denda. Tapi, pertanyaannya kan sederhana, bagaimana caranya menjadikan pidana itu efektif. Kalau pidana di atas kemampuan terpidana, dan ada istilah subsidaritas, bakal mandul juga," ujar Erasmus saat dihubungi Kompas.com, Rabu (14/9/2016).
Erasmus menuturkan, konsep pemiskinan bagi koruptor sudah lama diusulkan banyak pihak.
Negara, kata Erasmus, seharusnya bisa mengambil aset hasil korupsi dengan penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang untuk kasus korupsi.
Dia memandang pengambilan seluruh aset hasil korupsi lebih mampu menimbulkan efek jera ketimbang harus membebankan biaya sosial atau denda di luar kemampuan terpidana.
"Itu yang perlu dipertajam. Saya tidak percaya kalau pidana akan membuat jera koruptor. Kalau mau, fokus pada pengembalian dan pengambilan aset, ya tinggal dibuatkan saja aturannya," ungkapnya.
Sebelumnya, dikutip harian Kompas, Komisi Pemberantasan Korupsi mendorong agar koruptor juga dikenai beban membayar biaya sosial.
Selain menumbuhkan efek jera dan gentar, gagasan penerapan hukuman biaya sosial korupsi ini juga diharapkan dapat memulihkan kerugian keuangan negara ataupun perekonomian akibat korupsi.
Gagasan itu menjadi antitesis dari hukuman rata-rata koruptor yang makin ringan, yaitu dari 2 tahun 11 bulan pada tahun 2013 menjadi 2 tahun 1 bulan pada tahun 2016.
Pada saat yang sama, sikap permisif terhadap bekas terpidana kasus korupsi juga makin kuat.
Kondisi ini ditengarai menjadi penyebab korupsi masih banyak terjadi di Indonesia. Perhitungan biaya sosial korupsi yang dikaji KPK terdiri dari biaya eksplisit dan biaya implisit.
Biaya eksplisit adalah biaya yang dikeluarkan negara untuk mencegah dan menangani tindak pidana korupsi.
Biaya itu antara lain meliputi biaya penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pengadilan, hingga pemasyarakatan.
Adapun biaya implisit adalah biaya dari dampak yang timbul karena korupsi.
Dengan penghitungan biaya sosial korupsi, terdakwa korupsi dapat dituntut lebih tinggi daripada perhitungan kerugian negara yang selama ini dilakukan.
Dalam kajian KPK, peningkatan itu besarnya 4 kali hingga 543 kali lipat dibandingkan hukuman finansial yang diberikan pengadilan kepada para terpidana.
Biaya sosial korupsi ini dapat dilakukan dengan penerapan penggabungan perkara pidana dan perdata melalui gugatan anti kerugian sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 98 KUHAP.
Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada Zainal Arifin Mochtar menyambut baik gagasan Komisi Pemberantasan Korupsi terkait hukuman biaya sosial bagi koruptor.
Ia meyakini penerapan hukuman itu bisa membuat para penyelenggara negara takut melakukan praktik tindak pidana korupsi.
"Itu ide bagus. Ide untuk upaya menjerakan. Membuat orang untuk tidak lagi melakukan korupsi. Ide itu menarik," kata Zainal saat dihubungi Kompas.com, Rabu (14/9/2016) malam.
Yang harus dipikirkan, lanjut Zainal, adalah bagaimana ide tersebut bisa disinkronisasi dengan sistem hukum pemidanaan di Indonesia.
Ia khawatir jika aturan mengenai biaya sosial diterapkan tanpa sistem yang baik, justru akan menjadi bumerang bagi pemberantasan korupsi.
"Nanti malah jadi ada celah yang dimanfaatkan, misalnya orang merasa hanya perlu bayar denda sosialnya saja," ucap Zainal.
"Jadi harus dilihat sistem secara keseluruhan. Kalau menguba undang-undang ya harus diperbaiki secara menyeluruh, agar tak jadi lubang baru atau celah baru yang justru bisa dimanfaatkan oleh koruptor."
Sebelumnya, dikutip Harian Kompas, KPK mendorong agar koruptor juga dikenai beban membayar biaya sosial.
Selain menumbuhkan efek jera dan gentar, gagasan penerapan hukuman biaya sosial korupsi ini juga diharapkan dapat memulihkan kerugian keuangan negara ataupun perekonomian akibat korupsi.
Gagasan itu menjadi antitesis dari hukuman rata-rata koruptor yang makin ringan, yaitu dari 2 tahun 11 bulan pada tahun 2013 menjadi 2 tahun 1 bulan pada tahun 2016.
Pada saat yang sama, sikap permisif terhadap bekas terpidana kasus korupsi juga makin kuat. Kondisi ini ditengarai menjadi penyebab korupsi masih banyak terjadi di Indonesia.
Perhitungan biaya sosial korupsi yang dikaji KPK terdiri dari biaya eksplisit dan biaya implisit. Biaya eksplisit adalah biaya yang dikeluarkan negara untuk mencegah dan menangani tindak pidana korupsi.
Biaya itu antara lain meliputi biaya penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pengadilan, hingga pemasyarakatan.
Adapun biaya implisit adalah biaya dari dampak yang timbul karena korupsi. Dengan penghitungan biaya sosial korupsi, terdakwa korupsi dapat dituntut lebih tinggi daripada perhitungan kerugian negara yang selama ini dilakukan.
Dalam kajian KPK, peningkatan itu besarnya 4 kali hingga 543 kali lipat dibandingkan hukuman finansial yang diberikan pengadilan kepada para terpidana.
Dalam kajian KPK, biaya sosial korupsi ini dapat dilakukan dengan penerapan penggabungan perkara pidana dan perdata melalui gugatan anti kerugian sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 98 KUHAP.
No comments:
Post a Comment
http://www.youtube.com/user/dimensinet
http://www.youtube.com/user/MrLovemata
https://twitter.com/LoVeMaTa
Mohon untuk di Jempol dan di SUBSCRIBE yah gan. Terima Kasih