25 September 2014

KPK: Tak Ada Kaitan Langsung Korupsi Kepala Daerah dengan Pilkada Langsung

JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto menyampaikan, hasil kajian dan data KPK menyimpulkan tidak adanya kaitan langsung antara korupsi yang dilakukan kepala daerah dengan pemilihan kepala daerah secara langsung.
Menurut data KPK, kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah cenderung terjadi setelah Pilkada sehingga tidak berkaitan dengan proses Pilkada langsung.
"Dalam data KPK juga ditemukan kasus korupsi kepala daerah yang justru terjadi pascapemilihan kepala daerah. Jadi tidak berkaitan dengan Pilkada langsung, yaitu melakukan penyuapan terhadap Akil Mochtar, seperti misalnya, antara lain dalam kasus Romi Herton, Hambit Bintih dan lainnya," kata Bambang melalui pesan singkat, Kamis (25/9/2014).
Menurut Bambang, kasus dugaan korupsi yang punya hubungan agak langsung dengan Pilkada biasanya berkaitan dengan kasus penyuapan. Contohnya, kasus dugaan suap terkait pembangunan tanggul laut yang menjerat Bupati Biak Numfor Yesaya Sombuk.
Kendati demikian, menurut Bambang, kasus dugaan suap yang melibatkan kepala daerah hanya 13 persen.
"Ada 13 persen kasus korupsi kepala daerah berkaitan dengan perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan kewenangan sesuai dengan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," ujar Bambang.
Selama ini, kata Bambang, kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah sebagian besar berupa perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang sesuai dengan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor.
Menurut data KPK, kasus terkait dengan perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang oleh kepala daerah sekitar 81 persen dari total kasus korupsi yang ditangani KPK sepanjang 2004-2012.
"KPK sendiri menangani kasus korupsi kepala daerah sepanjang 2004-2012 sebanyak 52 kasus. Data korupsi yang dirilis Direktur Jenderal Otonomi Daerah Depdagri ada 290 kasus korupsi kepala daerah," tutur Bambang.
Di samping itu, Bambang menyampaikan bahwa Pilkada langsung hanya berpotensi menimbulkan korupsi kecil-kecilan. Pelakunya, kata dia, cenderung berasal dari kalangan pemilih dalam Pilkada yang motivasinya untuk memenuhi kebutuhan perut.
"Dalam pemilu langsung, pelakunya adalah pemilih. Namun, jenis korupsinya diduga hanya yang bersifat petty corruption atau korupsi untuk urusan sekitar perut hari itu saja," ujar Bambang.
Kondisi ini berbeda jika Pilkada dilakukan melalui DPRD. Bambang menilai Pilkada melalui DPRD akan menciptakan korupsi yang sistematis dan tersistem. Anggota DPRD sendiri yang nantinya akan menjadi pelaku tindak kejahatan.
"Bila Pilkada tidak langsung dilakukan di parlemen, para voter players atau penentu keputusan di anggota DPRD sendiri yang menjadi pelaku kejahatan," ucap dia.
Rapat paripurna hari ini di DPR akan menjadi penentu mekanisme pemilihan kepala daerah, apakah langsung oleh rakyat atau oleh DPRD. Hingga rapat kerja kemarin, masih terlalu banyak perbedaan sikap di antara fraksi-fraksi di Komisi II DPR mengenai RUU Pilkada.

No comments:

Post a Comment

http://www.youtube.com/user/dimensinet
http://www.youtube.com/user/MrLovemata
https://twitter.com/LoVeMaTa
Mohon untuk di Jempol dan di SUBSCRIBE yah gan. Terima Kasih