Sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai penerapan Pasal 156a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dalam kasus dugaan penistaan agama berpotensi mengancam demokrasi di Indonesia.
Senior Advisor Human Rights Working Group (HRWG) Choirul Anam mengatakan, pasal tersebut merupakan pasal karet dan tidak memberikan kepastian hukum.
Menurut Choirul, pada umumnya dalam kasus penistaan agama, polisi menggunakan logika ketersinggungan perasaan, bukan materiil perbuatan yang menjadi acuan.
"Pasal itu sangat lentur dalam penerapannya dan tidak memberi kepastian hukum. Pola umumnya polisi menggunakan logika soal perasaan atau ketersinggungan dalam menetapkan tersangka penista agama," ujar Choirul saat dihubungi, Kamis (17/11/2016).
Tak pernah lolos
Choirul menuturkan, pasca-reformasi Pasal 156 a cenderung sering digunakan karena perumusannya yang longgar. Namun, tujuannya bergeser keluar dari konteks agama dan penegakan hukum, melainkan politik.
Dari banyak kasus penistaan agama, seperti yang pernah dialami oleh Arswendo Atmowiloto, HB Jassin, dan Tajul Muluk, tidak pernah ada yang lolos dari Pasal 156 a.
"Tidak pernah ada yang lolos dari tuntutan penistaan agama menggunakan Pasal 156 a. Ada yang pernah lolos, tetapi dikenakan Pasal 157. Pasal ini selalu berkelindan dengan kepentingan politik atau di luar persoalan agama dan hukum," ucapnya.
Choirul sebelumnya menjelaskan, dalam menetapkan status tersangka, seharusnya ada dua unsur yang harus dipenuhi dalam Pasal 156 a KUHP.
Pertama, setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Kedua, unsur maksud supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Choirul mencontohkan pernyataan Gubernur DKI Jakarta nonaktifBasuki Tjahaja Purnama atau Ahok saat mengutip surat Al Maidah ayat 51.
Menurut Choirul, sulit untuk membuktikan apakah Ahok mencoba menghasut orang untuk meninggalkan agama tertentu.
"Seharusnya kasus Ahok tidak bisa dilanjutkan karena unsur kedua tidak terpenuhi. Kedua unsur jadi satu kesatuan, bukan dipisah seperti kebanyakan anggapan ahli pidana saat ini," kata Choirul, Selasa (15/11/2016) lalu.
Subyektif
Hal senada juga dilontarkan oleh Ketua Lembaga Penelitan dan Pengembangan SDM (Lakpesdam) PBNU, Rumadi Ahmad.
"Penodaan agama itu selalu pasal karet, definisinya tidak jelas. Seharusnya pasal penistaan agama itu diperketat," ucap Rumadi.
Rumadi menilai setiap proses hukum dalam kasus penodaan agama sangat bersifat subyektif.
"Selain itu kecenderungannya, aparat hukum mengikuti selera massa, seperti di kasus Lia Eden, Gafatar, dan kasus HB Jassin," ujar Rumadi.
"Perasaan selalu dipakai dalam kasus penistaan agama. Ukuran obyektifnya tidak ada, hanya mengandalkan perasaan," lanjutnya.
Di sisi lain, Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani mengatakan, istilah penodaan agama dan penistaan agama sebenarnya tidak dikenal dalam konsep hukum dan HAM.
Menurut Ismail, kasus penistaan agama tidak bisa diproses melalui jalur hukum karena agama sendiri bersifat abstrak dan sulit untuk mengukur sejauh apa seseorang dikatakan menista agama.
"Penodaan agama dan penistaan agama tidak dikenal dalam konsep hukum dan HAM. Kasus penodaan agama tidak bisa diselesaikan melalui produk hukum karena sifatnya abstrak. Jika dipaksakan maka jadi banyak kontroversi," ujarnya.
No comments:
Post a Comment
http://www.youtube.com/user/dimensinet
http://www.youtube.com/user/MrLovemata
https://twitter.com/LoVeMaTa
Mohon untuk di Jempol dan di SUBSCRIBE yah gan. Terima Kasih