Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, tepatnya di sekitar proyek MRT, di depan Polda Metro Jaya, seolah berubah menjadi areal parkir kendaraan pribadi saat jam kerja, seperti yang terlihat pada Rabu (20/8/2014). Masyarakat menaruh harapan besar terhadap proyek pembangunan transportasi massal tersebut dalam mengurai kemacetan di Jakarta. KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
JAKARTA, KOMPAS.com — Pembebasan lahan untuk proyek angkutan massal cepat (MRT) masih menemui jalan buntu. Pemerintah Provisi DKI Jakarta dan pemilik lahan belum sepakat tentang harga lahan yang akan dibebaskan. Jika terus terhambat, Pemprov DKI Jakarta akan membawa persoalan ini ke pengadilan.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah DKI Jakarta Andi Baso mengatakan, kebuntuan negosiasi tersebut tidak boleh dibiarkan terlalu lama. Harus ada langkah untuk segera menyelesaikan pembebasan lahan. ”Jika tidak, tahapan proyek akan tertunda. Warga tidak boleh terlalu lama menunggu proyek ini selesai,” kata Andi Baso, Kamis (4/12), di Jakarta.
Menurut Andi, membawa masalah pembebasan lahan MRT ke pengadilan merupakan langkah yang paling tepat. Saat ini masih ada ratusan lokasi lahan yang belum dibebaskan untuk kepentingan pembangunan proyek. Padahal, tahapan pengerjaan fisik sudah berjalan setahun terakhir.
Namun, sebelum menyelesaikan masalah pembebasan lahan ke pengadilan ditempuh, Pemprov DKI Jakarta terus mengupayakan solusi lain. Pemprov DKI Jakarta menjanjikan insentif kepada warga pemilik lahan yang terkena proyek MRT.
Mereka mendapat insentif berupa pemberian hak koefisien lantai bangunan lebih luas daripada yang seharusnya. Jadi, warga dapat memaksimalkan nilai ekonomi lahan yang dimiliki. Dengan cara itu, warga tidak merasa dirugikan dengan keberadaan proyek MRT.
Informasi yang dihimpun dari Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta, pembebasan lahan terkendala nilai penggantian lahan. Sebagian warga menuntut penggantian lahan mulai dari Rp 60 juta hingga Rp 100 juta per meter persegi.
Direktur Utama PT MRT Jakarta Dono Bustami mengakui pembebasan lahan belum beres. Sebagian merupakan lahan negara yang diduduki warga dan lahan milik warga. Dia meminta dukungan Dinas PU DKI Jakarta untuk menyelesaikan pembebasan lahan di lokasi yang bermasalah.
Masalah yang menghadang berikutnya adalah penggunaan anggaran terbatas hingga 15 Desember. ”Ini tantangan bagi Pemprov DKI,” kata Dono.
Terminal Pondok Cabe
Revitalisasi Terminal Pondok Cabe membutuhkan pembebasan lahan besar, baik untuk pembangunan bagian dalam terminal maupun untuk akses di sekitar terminal. Warga berharap pemerintah segera menyosialisasikan pembebasan lahan tersebut.
Menurut rencana, terminal seluas 2,6 hektar itu akan diperluas menjadi 6 hektar. Terminal Pondok Cabe diproyeksikan menjadi pengganti Terminal Lebak Bulus di Jakarta Selatan yang harus ditutup karena akan digunakan sebagai depo MRT. Pembangunan terminal ini, menurut rencana, dilakukan bersama antara Pemprov DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Tangerang Selatan. Terminal Pondok Cabe berjarak 8-9 kilometer dari Lebak Bulus.
Saat ini, Terminal Pondok Cabe masih dikelilingi perumahan warga. Adapun akses dari Jalan Kemiri, Pondok Cabe Udik, yang saat ini hanya selebar 4 meter perlu diperluas. Untuk memperlancar aksesibilitas terminal, jalan akan diperlebar menjadi 24 meter (empat lajur). Saat ini, sisi Jalan Kemiri pun sebagian besar sudah diokupasi warga, di antaranya, untuk usaha warung, rumah, gudang, dan pabrik. Warga belum tahu rencana pembangunan Terminal Pondok Cabe.
”Dari dulu dengar akan dibangun tol, tetapi belum ada tindak lanjutnya. Sekarang, saya malah baru dengar kalau akan diperlebar untuk terminal,” kata Laras, warga Jalan Kemiri, Pondok Cabe Udik, saat ditemui di rumahnya, Kamis. (NDY/DEA)
No comments:
Post a Comment
http://www.youtube.com/user/dimensinet
http://www.youtube.com/user/MrLovemata
https://twitter.com/LoVeMaTa
Mohon untuk di Jempol dan di SUBSCRIBE yah gan. Terima Kasih