15 September 2014

Rakyat Tak Setuju Pilkada Langsung Dihapus

KOMPAS
Jajak pendapat Kompas tentang penyelenggaraan pilkada
KOMPAS.com - Terpeliharanya kedaulatan rakyat sebagai esensi demokrasi merupakan pertimbangan utama publik dalam menilai pemilihan umum kepala daerah secara langsung. Bagi publik, pilkada langsung merupakan "anak kandung" gerakan reformasi yang harus dipertahankan.
Kesimpulan tersebut terangkum dalam jajak pendapat Kompas terkait revisi Undang-Undang (UU) Pilkada yang saat ini berlangsung di DPR. Hampir semua responden (91 persen) menilai, pelaksanaan pilkada secara langsung lebih demokratis ketimbang pilkada melalui pemilihan di DPRD, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Publik menyatakan ketidaksetujuan untuk kembali ke sistem pemilihan kepala daerah sebagaimana masa sebelum reformasi tersebut. Kedaulatan rakyat dan jaminan berlangsungnya hasil reformasi diyakini 84 persen responden lebih terjaga melalui pilkada langsung.
Saat ini, sejumlah fraksi di DPR yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih mengupayakan revisi UU untuk mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Dasar yang dikemukakan adalah banyaknya kepala daerah hasil pilkada langsung yang terbelit kasus hukum, maraknya politik uang dalam sistem pilkada langsung, dan pemborosan anggaran negara akibat banyaknya penyelenggaraan pilkada. Politisi Koalisi Merah Putih juga menyatakan perlunya upaya penguatan fungsi parpol dengan mengembalikan kewenangan pemilihan kepala daerah kepada parpol di lembaga perwakilan.
Sebagian dampak negatif pilkada langsung tidak ditampik publik. Sekitar separuh bagian responden jajak pendapat mengamini bahwa pilkada langsung memang rawan politik uang, rawan konflik sosial, dan cenderung memboroskan anggaran negara. Meski demikian, jawaban atas berbagai persoalan itu tampaknya bukanlah mengembalikan pilkada kembali kepada DPRD.
Dari segi praktis, publik juga memandang pemilu melalui DPRD bukan merupakan solusi jitu membersihkan pilkada dari politik uang. Dua pertiga responden tidak yakin pemilihan kepala daerah yang dilakukan di tingkat DPRD akan mengurangi politik uang. Oligarki politik justru dapat lahir dari sistem barter uang dengan kekuasaan. Artinya, publik menganggap sistem pilkada mana pun tetap membuka peluang terjadinya politik uang.
Selain politik uang yang dimungkinkan terjadi di dua sistem pilkada, responden juga meragukan manfaat pilkada tidak langsung dari sisi anggaran negara yang dipakai. Separuh dari responden (50,4 persen) tidak yakin pilkada melalui DPRD akan lebih menghemat anggaran.
Anggaran memang tidak bisa dijadikan alasan untuk memilih opsi pilkada tak langsung. Salah satu upaya efisiensi adalah pelaksanaan pilkada serentak secara nasional. Opsi pilkada serentak ini cenderung dipilih publik. Tiga dari empat responden menyetujui pemilihan gubernur, wali kota, dan bupati yang dilaksanakan bersamaan.
Sementara itu, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Husni Kamil Manik juga menyatakan, KPU siap melaksanakan pemilihan 246 kepala daerah yang terdiri dari gubernur, bupati, dan wali kota secara bersamaan mulai tahun depan.
Secara umum, delapan dari setiap sepuluh responden (79,7 persen) tidak setuju pilkada langsung dihapuskan. Mereka yang tidak setuju mayoritas beralasan pilkada melalui wakil rakyat di DPRD tidak demokratis dan menghapus hak konstitusi (65,9 persen). Alasan lain, pilkada langsung harus dilakukan karena rakyat lebih mengetahui siapa yang patut menjadi pemimpin mereka ketimbang anggota parlemen (10,7 persen). Sementara responden yang setuju dengan penghapusan pilkada langsung beralasan hanya mengikuti kebijakan pemerintah (33,3) dan demi penghematan anggaran negara (19,3 persen).
Betapapun, iklim politik saat ini dimaknai publik sebagai kondisi kebebasan, transparansi, dan partisipasi publik dalam berbagai ranah politik. Mencabut pelaksanaan pilkada langsung ibarat mengisap aliran darah dari perjalanan nadi sejarah reformasi. Hasil jajak pendapat triwulanan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama satu dekade terakhir (Januari 2005-Juli 2014) menunjukkan, aspek kebebasan berpolitik ini menjadi penopang utama citra positif pemerintahan SBY di tengah relatif minimnya penilaian publik terhadap kondisi ekonomi, hukum, dan kesejahteraan sosial.
Dampak pilpres
Enam fraksi di DPR yang menyokong ide pilkada melalui DPRD adalah fraksi dari Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat, PKS, PPP, dan PAN. Para anggota DPR dari kelompok ini beralasan, sistem pilkada melalui DPRD sesuai untuk Indonesia yang menganut sistem demokrasi perwakilan sesuai Pancasila dan UUD 1945.
Di satu segi, langkah politik ini dianggap memiliki dasar hukum karena mekanisme perwakilan memang termaktub dalam konstitusi.
Namun, bukan berarti demokrasi langsung tak memiliki dasar konstitusional. Apalagi, roh gerakan reformasi tahun 1998 adalah tuntutan pelaksanaan dan pengembalian kedaulatan kepada rakyat.
Selain itu, dari segi waktu, upaya mengubah UU Pilkada ini terlihat sangat bias agenda politik praktis pasca pilpres. Publik menilai, kondisi saat ini merupakan kelanjutan dari proses pemilu presiden (pilpres) yang belum sepenuhnya diterima semua pihak.
Dilihat dari segi waktu pengajuan, revisi UU baru dilakukan setelah hasil keputusan Mahkamah Konstitusi menolak upaya parpol Koalisi Merah Putih terkait proses Pilpres 9 Juli 2014.
Proses pembahasan revisi UU Pilkada di parlemen juga memperlihatkan sikap partai-partai yang tak sepenuhnya senada meski dalam satu perahu koalisi. Pada Mei 2014, misalnya, semua fraksi menyepakati pemilihan gubernur melalui pilkada langsung. Sementara untuk pemilihan bupati/wali kota, hanya fraksi dari Partai Golkar, PKS, PAN, PPP, Gerindra, PDI-P, dan Partai Hanura yang setuju dengan pilkada langsung.
Pada 3 September 2014, hanya tersisa fraksi dari PKS, PDI-P, PKB, dan Partai Hanura yang menyetujui pilkada langsung untuk pemilihan gubernur. Sementara untuk pemilihan bupati/wali kota, hanya PKS, PDI-P, dan Partai Hanura yang setuju dengan pilkada langsung.
Pada 9 September 2014, peta politik berubah lagi. Baik untuk pemilihan gubernur maupun bupati/wali kota, hanya fraksi dari PDI-P, PKB, dan Partai Hanura yang menyetujui pilkada langsung, sedangkan fraksi lain memilih pilkada melalui DPRD.
Dengan demikian, praktis agenda pembahasan UU ini lebih merupakan bagian dari konstelasi politik yang tetap panas pasca pilpres. Parahnya, agenda ini secara telak mengingkari unsur terpenting dari perjuangan reformasi yang sudah susah payah diupayakan untuk membongkar praktik gaya oligarki kekuasaan era Orde Baru.
Kepala daerah
Terlepas dari problem anggaran yang boros melalui pilkada langsung, bukti positif dari pelaksanaan pilkada langsung juga bertebaran. Salah satu yang menonjol adalah munculnya pejabat kepala daerah yang disukai publik karena memberikan alternatif pendekatan solusi masalah bagi masyarakat.
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, dan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil adalah contoh nyata pemimpin produk pilkada langsung yang disukai masyarakat.
Bahkan, Joko Widodo melesat menjadi pemenang pilpres dalam hitungan dua tahun sejak menjabat wali kota dengan mengandalkan sistem pemilu langsung. Tanpa mekanisme politik pemilu langsung, mustahil calon-calon alternatif yang disukai publik ini bisa terakomodasi ke tampuk kekuasaan tertinggi.
Jika demikian, wakil rakyat kini tinggal memilih memperjuangkan agenda reformasi bangsa atau agenda politik jangka pendek parpol. (Toto Suryaningtyas/Palupi P Astuti/LITBANG KOMPAS)

No comments:

Post a Comment

http://www.youtube.com/user/dimensinet
http://www.youtube.com/user/MrLovemata
https://twitter.com/LoVeMaTa
Mohon untuk di Jempol dan di SUBSCRIBE yah gan. Terima Kasih