"Nanti kalau DPRD yang Milih, Kita Mau Nuntut ke Siapa?"

JAKARTA, KOMPAS.com — Warga Rusun Marunda menolak mentak-mentah usulan pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD. 

Mereka berpendapat, memilih kepala daerah secara langsung berarti memercayakan pemerintahan kepada pemimpin yang dianggap bertanggung jawab. Pemimpin itulah yang nantinya menjadi tempat warga menyampaikan aspirasi dan keluh kesah.

"Saya enggak setuju. Seharusnya rakyat yang memilih. Karena nanti kalau rakyat ada tuntutan, ya itulah kepada pejabat pemda. Bilamana aspirasi tidak dikabulkan, otomatis tuntutan ke pimpinan pemda nanti. Kalau DPRD yang pilih, warga mau tuntut ke siapa?" ujar Saprudianto, Ketua RT 07 RW 10 Rusun Marunda, di Cilincing, Jakarta Utara, Rabu (10/9/2014). 

Menurut Saprudianto, biaya pilkada yang besar tidak bisa dijadikan alasan untuk usulan itu. Ia malah beranggapan seharusnya biaya pilkada ditanggung oleh anggaran daerah. 

Sedangkan persoalan pilkada yang dapat memicu perselisihan, dia menggangap hal tersebut wajar dalam demokrasi. "Beda pendapat itu wajar, asal jangan adu jotos. Kayak pilpres kemarin-lah. Asal ada keamanannya saja," ujar warga Blok Kakap Rusun Marunda tersebut. 

Komang (30), warga Blok Bandeng Rusun Marunda lainnya, meyakini bahwa usulan pemilihan kepala daerah oleh DPRD tidak akan terwujud. "Itu enggak bakalan bisa kalau menurut saya. Walaupun sebentar lagi (disahkan), bakalan batal. Dia (DPR) harus alot dulu sama kita, harus sosialisasi sama wargalah," ujar Komang. 

Sementara Roby (60), warga Rusun Marunda lainnya, mengatakan, model usulan tersebut sama seperti pada era Orde Baru.

Roby yang mengikuti tayangan persoalan ini di media massa sependapat dengan kalangan pengamat yang mengatakan bahwa usulan itu mengarah ke bentuk otoriter. Sebab, warga tidak dilibatkan dalam proses pemilihan.

"Yang jelas sekarang sudah timbul penolakan dari masyarakat," ujar Roby.