04 September 2014

Kisah Lolosnya Ali dari Eksekusi ISIS di Kota Tikrit

HRW/Al ArabiyaFoto yang ditunjukkan Human Right Watch (HRW) ini memperlihatkan puluhan prajurit Irak dalam keadaan tertelungkup dengan kedua tangan terikat setelah menyerah dari pasukan ISIS yang menyerbu kota Tikrit pada Juni lalu. Pria yang berada di dalam kotak warna merah adalah Ali (23) salah seorang yang lolos dari eksekusi ISIS.

BAGHDAD, KOMPAS.com — Saat pasukan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) menggulung wilayah utara Irak pada awal Juni lalu, ratusan tentara Irak menjadi korban baik di dalam baku tembak maupun dieksekusi setelah menyerah.

Salah satu prajurit Irak yang ditangkap ISIS saat merebut kota Tikrit pada 12 Juni lalu adalah Ali (23). Bersama ratusan orang lainnya, Ali tertangkap saat berusaha kabur ke jalan raya utama dari sebuah pangkalan militer.

Ali mengatakan, dia ada di antara para tahanan yang ditampung di sebuah kontainer di sebuah istana di kota itu sebelum dibawa dalam sebuah kelompok berisi 10 orang pada pukul 17.00 waktu setempat.

Pasukan ISIS kemudian memerintahkan ke-10 orang itu berbaris untuk ditembak satu per satu dengan menggunakan pistol.

Kepada Human Right Watch (HRW), Ali mengatakan, dia selamat dengan cara menjatuhkan diri dan berpura-pura mati. Ali sungguh beruntung karena entah bagaimana peluru dari pistol yang ditembakkan sang eksekutor meleset dari tubuhnya.

Setelah berpura-pura mati, Ali menunggu selama beberapa jam sebelum meloloskan diri di dalam kegelapan malam.

Seorang juru bicara HRW kepada harian The Independentmengatakan, Ali kemudian bersembunyi di kawasan yang dipenuhi alang-alang selama beberapa hari sebelum memberanikan diri keluar dari persembunyiannya. "Dia kini sudah aman berada jauh di luar wilayah yang dikuasai ISIS," kata juru bicara HRW itu.

Pada Juni lalu, ISIS mengklaim telah mengeksekusi 1.700 orang tahanan Irak, yang menurut mereka adalah para prajurit Irak yang memeluk Syiah. 

Tak lama setelah klaim itu, ISIS mengunggah serangkaian foto yang memperlihatkan para tahanan dinaikkan ke atas sejumlah truk. Foto lain memperlihatkan para tahanan dengan tangan terikat berbaring telungkup di dekat sebuah parit yang dangkal.

NEW YORK, KOMPAS.com — Organisasi HAM, Human Right Watch (HRW), Rabu (3/9/2014), membeberkan sejumlah bukti yang mengungkap tiga lokasi eksekusi massal, yang membuat jumlah orang yang dieksekusi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) menjadi 770 orang.

Sebagian besar korban eksekusi massal ini adalah anggota militer Irak yang menyerah dan ditangkap saat ISIS merebut kota Tikrit.

"Satu lagi potongan teka-teki mengerikan terungkap dengan lebih banyak lagi eksekusi massal dapat dikonfirmasi," kata Peter Bouckaert, salah seorang Direktur HRW.

"Perbuatan barbar yang dilakukan ISIS melanggar hukum mana pun dan sangat melukai hati nurani," tambah Bouckaert.

Eksekusi massal itu yang terjadi di Kamp Speicher itu, sebuah pangkalan angkatan udara yang pernah digunakan militer AS, adalah salah satu kejahatan terburuk yang dilakukan ISIS saat mencaplok wilayah utara Irak.

Ali (23), satu orang yang selamat dari eksekusi massal itu, kepada HRW mengatakan, dia ditangkap ISIS pada 12 Juni bersama ribuan orang lainnya saat mereka mencoba kabur ke jalan raya utama dari Kamp Spiecher.

Rekan-rekannya sesama prajurit dan para perwira menyuruh dia mengenakan pakaian sipil agar tak terdeteksi anggota ISIS.

Pada pertengahan Juni, ISIS mengklaim telah mengeksekusi sekitar 1.700 prajurit Irak dan personel militer lainnya dari Kamp Speicher. ISIS juga mengunggah sejumlah foto yang memperlihatkan mereka melakukan eksekusi terhadap para prajurit Irak yang sebelumnya telah menyerah dan diangkut sebuah truk.

Setelah insiden itu, semua prajurit itu dinyatakan hilang dan memicu unjuk rasa keluarga prajurit di Baghdad sebagai upaya untuk menekan pemerintah agar bertanggung jawab atas nasib para prajurit itu.

Pada Selasa (2/9/2014), puluhan anggota keluarga tentara yang marah menyerbu masuk ke dalam gedung parlemen di kawasan hijau Baghdad setelah sempat bentrok dengan aparat keamanan.

AP Photo/ Khalid MohammedSeorang perempuan Yazidi bersama anak-anaknya di kamp pengungsian Dahuk yang berjarak 260 kilometer dari ibu kota Irak, Baghdad.

NEW YORK, KOMPAS.COM — Saat Adeba Shaker tiba di sebuah rumah di Raabia, Irak, setelah diculik kaum militan Negara Islam atau ISIS bulan lalu, salah seorang dari penculiknya menerima panggilan telepon. Tak lama kemudian, kelima pria di apartemen itu mengambil senjata mereka dan bergegas keluar.

Shaker, gadis berusia 14 tahun dari etnis minoritas Yazidi, mendengar suara sejumlah truk meninggalkan tempat itu. Suasana lalu senyap. Itu kali pertama dalam 20 hari dia dan seorang gadis lain yang disekap bersamanya berada dalam kondisi sendirian, tanpa penjaga, dan pintu terbuka.

Kaum militan ISIS telah memperdagangkan Shaker dari desanya di Sinjar di Irak timur laut ke perbatasan Suriah. Gadis itu dijadikan "hadiah" untuk para anggota militan di garis depan. Dia harus menganut Islam dan dipaksa untuk menikah dengan salah satu dari mereka.

"Ketika (para anggota militan itu) meninggalkan kami, saya panik. Saya tidak tahu apa yang harus dilakukan. Saya lihat sebuah tas yang penuh ponsel dan saya menelepon saudara saya," kata Shaker via telepon dari sebuah kamp untuk pengungsi di Irak.

Di telepon, Samir, kakaknya, menyuruh gadis itu pergi ke sebuah rumah terdekat dan meminta bantuan serta petunjuk untuk mencapai perbatasan tempat pejuang dari Partai Pekerja Negara Kurdistan (PKK) sedang memerangi kelompok militan ISIS. Samir mengatakan bahwa PKK akan membantu dia.

"Itu seperti berjudi karena saya tidak tahu siapa yang menjadi teman dan siapa yang menjadi musuh," kata Shaker.

Dia dan temannya memutuskan untuk mencoba keberuntungan mereka. Kedua gadis itu menyelinap keluar dari rumah tersebut dan mengetuk pintu rumah tetangga. "Kami menjelaskan situasinya kepada mereka dan mereka menunjukkan kepada kami jalan ke perbatasan. Kami tidak pernah menoleh."

Kedua gadis itu berangkat ke garis depan.

"Saya tak bisa berjalan tegak, kaki saya gemetaran dan jantung saya berdetak sangat cepat. Kami berlari, berjalan, dan kami tidak pernah melihat ke belakang," kata Shaker.

Setelah dua jam berjalan, mereka mendengar suara tembakan. Saat mereka mendekat, mereka melihat sekelompok pejuang PKK. Mereka pun mulai berlari ke arah pejuang PKK itu. "Saya menangis dan tertawa pada saat bersamaan," katanya. "Kami bebas!"

Adeba Shaker adalah salah satu dari beberapa warga Yazidi yang lolos dari kaum militan ISIS yang telah mengambil alih sebagian besar wilayah Irak dan Suriah dalam beberapa bulan terakhir. Puluhan ribu warga Yazidi melarikan diri dari tanah air leluhur mereka di Sinjar dan desa-desa lain. Mereka lari dari kejaran kelompok militan ISIS, yang menganggap warga Yazidi sebagai penyembah setan yang harus menganut Islam versi radikal kelompok itu atau mereka akan mati.

Selain Shaker, kelompok militan itu menculik sedikitnya 73 perempuan dan anak-anak dari desanya dan memperdagangkan mereka di Irak utara. Shaker ingat bagaimana para anggota militan itu memisahkan perempuan tua dari kelompok mereka.

Perempuan muda dan para gadis remaja dilaporkan menghadapi nasib yang mengerikan. Setelah diperkosa beramai-ramai, mereka akan dijual kepada penawar tertinggi.

Perempuan dewasa dan gadis remaja dilelang seharga sedikit 10 dollar AS (atau sekitar Rp 100.000), kata sejumlah laporan. Yang lainnya, seperti Shaker, harus menikah dengan para anggota militan.

"Saat paling menakutkan adalah pada malam pertama setelah mereka menangkap kami," kenang Shaker. "Kami tiba di sebuah kantor polisi di kota lain. Semua orang dalam kondisi menangis dan menjerit. Kami tidak tahu apa yang akan terjadi pada kami."

Shaker sebelumnya tinggal di sebuah desa kecil bersama 25 anggota keluarganya. Dia mencintai sekolah dan ingin menjadi seorang guru. Saat keluarga itu mendengar bahwa anggota militan ISIS mendekat, mereka pun lari ke desa terdekat. Namun, kaum militan mengejar mereka tak lama kemudian.

"Mereka berjanji, mereka tidak akan menyakiti kami jika kami menyerah," kata gadis itu. "Mereka memisahkan perempuan dewasa dan anak-anak dari para lelaki.... Mereka kemudian mengambil semua perhiasan, uang, telepon, dan kendaraan kami."

Dua jam kemudian, semua tahanan dimuat ke sejumlah truk dan dipindahkan ke tujuan yang tidak diketahui. "Awalnya (mereka) berusaha bersikap baik kepada kami .... Mereka mencoba menenangkan kami." Tak lama setelah itu, sikap mereka berubah dan mereka menjadi "kasar dan agresif".

Akhirnya, Shaker dan keluarganya tiba di kota Badoosh, dekat Mosul, tempat mereka bergabung dengan sekitar 1.000 perempuan Yazidi dan anak-anak lainnya. Dia dipisahkan dari ibunya dan seluruh keluarganya. Gadis itu kemudian dikirim ke rumah di Raabia itu, tempat dia berhasil melarikan diri.

Shaker kini aman di sebuah kamp pengungsi di Irak. Di situ dia bertemu kembali dengan dua saudara laki-lakinya. Dia belum tahu nasib 22 anggota keluarga lainnya yang masih berada di tangan kelompok militan ISIS.

"Kadang-kadang saya tidak bisa tidur pada malam hari. Saya sangat khawatir dengan mereka," katanya. "Itulah waktu terburuk ... Semua orang tertidur dan saya masih berpikir tentang pelarian diri saya."

"Saya tahu, saya beruntung. Tuhan menyelamatkan saya."

No comments:

Post a Comment

http://www.youtube.com/user/dimensinet
http://www.youtube.com/user/MrLovemata
https://twitter.com/LoVeMaTa
Mohon untuk di Jempol dan di SUBSCRIBE yah gan. Terima Kasih