20 May 2016

Pakar Hukum UI: Diskresi Ahok Tak Bisa Dipidanakan

Pakar hukum administrasi negara dari Universitas Indonesia, Dian P. Simatupang, menilai diskresi yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok dalam kasus reklamasi Teluk Jakarta tidak dapat dipidanakan. Menurutnya, keputusan itu sudah tepat untuk mengatasi stagnasi kebijakan karena belum ada regulasi yang mengaturnya.

"Gubernur DKI mengambil diskresi saat itu, karena harus cepat mengatur dan tidak mungkin dibiarkan berlarut tanpa kepastian. Sepanjang sudah sesuai AUPB (Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik), maka berwenang mengambil kebijakan tersebut. Harus dipahami bahwa kebijakan menurut teori HAN (Hukum Administrasi negara) tidak dapat dipidanakan," kata Dian Jumat, 20 Mei 2016.
Dian mengatakan keputusan Ahok sudah tepat guna mengatasi stagnasi, karena diskresi Ahok dilakukan pada Maret 2014, dan UU Administrasi Pemerintah No 30/2014 baru disahkan Oktober 2014.
Dalam UU Administrasi Pemerintah Nomor 30 Tahun 2014, kata Dian, disebutkan bahwa diskresi adalah wewenang yang melekat pada PNS dan pejabat negara. "Dalam kasus reklamasi teluk Jakarta tidak perlu investigasi hukum, tetapi dapat dilakukan Presiden atau Menteri terkait meminta penjelasan dan pertanggunjawaban mengenai reklamasi.”

Dian menegaskan diskresi harus tetap dilindungi. Sebabnya, pejabat negara yang beritikad baik telah melaksanakan tugasnya dalam pencapaian tujuan bernegara. “Justru ini tidak salah karena diskresi kan untuk menjaga kepentingan publik” tuturnya.

Dian mengatakan, sebelumnya Ahok menjelaskan bahwa proyek yang merupakan kewajiban yang dibayar dimuka terkait kontribusi tambahan itu memakai diskresinya sebagai gubernur, karena saat diputuskan pada tahun 2014 belum ada dasar hukumnya. Keputusan diskresi tersebut resmi diambil dalam rapat sebagai pengikat komitmen pengembang.

Pengembang yang diminta Ahok membangun proyek yang merupakan kewajiban yang dibayar dimuka terkait kontribusi tambahan selain Podomoro adalah PT Jakarta Propertindo, PT Muara Wisesa Samudera, PT Taman Harapan Indah, dan PT Jaladri Kartika Pakci.

Angka kontribusi tambahan ini, menurut Dian, juga dimasukkan ke dalam payung hukum yang akan mengatur terkait reklamasi pantai utara Jakarta, yakni Raperda RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ) dan Raperda RTRKSPJ (Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Panturan Jakarta).

Dian menuturkan bila ada tuduhan dan dugaan terhadap diskresi, maka Badan Pengawas Keuangan Provinsi dapat melakukan penilaian yang hasilnya dapat disampaikan kepada Presiden, sesuai UU Administrasi Pemerintah. "Apabila BPKP menyatakan terdapat kesalahan administrasi yang menimbulkan kerugian negara, maka dalam waktu 10 hari Pemda DKI dan Gubernur mengganti kerugian. Jika keberatan, keduanya dapat mengajukan permohonan ke PTUN," jelas Dian.

Namun, ia menambahkan, bila BPKP menyatakan tidak ada kesalahan administrasi, atau ada kesalahan administrasi tapi tidak ada kerugian negara, aparat penegak hukum tidak boleh masuk dan memprosesnya lagi. “Oleh sebab itu cara yang tepat menurut saya, diskresi tersebut dilaporkan kepada Presiden sebagai pejabat atasan sesuai prosedur dalam UU Adpem," ujar Dian.


Diskresi Dipersoalkan, Ahok Bela Diri Pakai Analogi Polisi  


Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok membantah telah mendapat keuntungan dari kebijakan diskresi yang ia terapkan soal kontribusi tambahan terkait dengan reklamasi Teluk Jakarta. Ia juga merasa tak ada yang salah dengan kebijakan itu. 

"Setiap pejabat di Indonesia itu punya hak diskresi. Polisi lalu lintas melanggar lalu lintas enggak kalau masukkin mobil ke jalur busway? Tidak, karena dia diskresi. Melanggar kalau dia masukkin, minta duit. Kalau dia pikir masukkin mobil untuk mengatasi kemacetan, itu diskresi," kata Ahok di Balai Kota, Jumat, 20 Mei 2016.  

Ahok menjelaskan bahwa kontribusi yang diterapkan kepada pengembang pada proyek reklamasi adalah beban bagi perusahaan pengembang. Sama halnya seperti membangun trotoar di Ibu Kota. Ia mengatakan wajar apabila hal itu dilakukan oleh perusahaan. APBD, kata Ahok, akan kesulitan menyiapkan dana sekitar Rp 50-100 miliar setiap tahun untuk membangun trotoar. Sebab, membutuhkan waktu hingga 50 tahun untuk membangun trotoar Jakarta yang panjangnya sekitar 2.600 kilometer untuk dua sisi. "Itu harusnya di dunia, pembangunan infrastruktur dibebankan kepada pengusaha," ujarnya.

Menurut dia, pembangunan infrastruktur harusnya dibebankan kepada mereka. Sedangkan pajak diambil untuk dialokasikan pada sektor pendidikan, kesehatan, atau transportasi. "Nah, itulah yang dilakukan yang dinamakan diskresi," tutur Ahok.  

Ahok berujar, hal yang sama dilakukan pada proyek reklamasi. Menurut dia, ketika proyek reklamasi mulai digulirkan pada 1997, sudah ada perjanjian perihal kontribusi yang dibebankan kepada perusahaan. Lalu, pada 2012, kata Ahok, dikeluarkan perjanjian kerja sama dengan pemerintah DKI Jakarta soal proyek reklamasi. Namun Ahok menilai, pada kerja sama itu, kontribusi terhadap pengembang terkesan hilang dan tidak jelas. "Makanya saya katakan ini tidak bisa, harus dibuat sebuah kebijakan yang tetap mengacu pada perjanjian tahun 1997," ucap Ahok.  

Ahok menambahkan bahwa Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 bukan membahas soal diskresi. Ia menyebutkan peraturan itu terkait dengan administrasi pemerintahan. Namun peraturan itu, kata Ahok, menguatkan bagi pejabat untuk melakukan diskresi. "Boleh melakukan diskresi sejauh tidak untuk kepentingannya, sejauh untuk memecahkan kebuntuan izin, dan bukan untuk kepentingan pribadi," ujarnya.

No comments:

Post a Comment

http://www.youtube.com/user/dimensinet
http://www.youtube.com/user/MrLovemata
https://twitter.com/LoVeMaTa
Mohon untuk di Jempol dan di SUBSCRIBE yah gan. Terima Kasih